Bismillahirrahmanirrahim. Dalam dinamika kehidupan sosial, manusia seringkali tergoda untuk mencampuri urusan orang lain, mengorek-ngorek keburukan, serta mencari-cari aib yang sejatinya bukan haknya untuk diketahui. Fenomena ini dikenal dalam Islam sebagai tajassus, yakni kebiasaan mengintai atau menyelidiki kesalahan orang lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memperingatkan kita dengan firman-Nya: "Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari …
Bismillahirrahmanirrahim. Dalam dinamika kehidupan sosial, manusia seringkali tergoda untuk mencampuri urusan orang lain, mengorek-ngorek keburukan, serta mencari-cari aib yang sejatinya bukan haknya untuk diketahui. Fenomena ini dikenal dalam Islam sebagai tajassus, yakni kebiasaan mengintai atau menyelidiki kesalahan orang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan kita dengan firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain…” (QS. Al-Hujurat: 12)
Ayat ini bukan sekadar larangan, tetapi juga peringatan serius terhadap penyakit hati yang merusak sendi-sendi kehidupan berislam. Tajassus bukan hanya melukai individu yang menjadi objeknya, tetapi juga meruntuhkan nilai kepercayaan, kehormatan, dan persaudaraan dalam Islam.
Tajassus, Dosa Besar yang Mengancam Keselamatan Dunia Akhirat
Mencari keburukan orang lain tidak hanya merusak hubungan sesama Muslim, tetapi juga mengikis nilai-nilai Islam. Ketika budaya saling menelanjangi kesalahan semakin mengakar, niscaya akan lahir masyarakat yang penuh dengan kecurigaan, dendam, dan permusuhan.
Lebih dari itu, tindakan menguping dan menyebarkan aib memiliki konsekuensi yang berat di akhirat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa berusaha mendengarkan pembicaraan orang lain, sedangkan mereka tidak suka (didengarkan), atau mereka menjauh darinya, maka pada telinganya akan dituangkan cairan tembaga pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari, no. 7042)
Hadits ini menggambarkan betapa mengerikannya balasan bagi mereka yang gemar mencari-cari kesalahan orang lain. Telinga yang seharusnya digunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah, justru digunakan untuk menyerap keburukan sesama. Maka, pertanyaannya, apa yang akan kita bawa di hadapan Allah kelak ?
Fenomena ini mengajarkan bahwa setiap individu harus memiliki kontrol diri dalam mengelola rasa ingin tahu. Bukan aib orang lain yang harus menjadi objek perhatian, melainkan introspeksi terhadap diri sendiri. Apakah kita sudah cukup menjaga kehormatan sesama? Apakah kita sudah berlaku adil dalam menilai orang lain?
Islam tidak melarang kita untuk mengkritisi atau menegakkan keadilan, tetapi ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Setiap manusia memiliki kehormatan yang harus dijaga, sebagaimana sabda Rasulullah:
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzalimi dan tidak boleh menyerahkannya kepada musuh. Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Jika ada keburukan dalam masyarakat, tugas kita bukan mempermalukan, tetapi memberikan nasihat dan solusi. Jika ada kesalahan yang terjadi, yang diperlukan bukan cibiran, tetapi bimbingan.
Pada akhirnya, martabat manusia bukan ditentukan oleh keburukan orang lain yang ia ketahui, melainkan oleh integritas dirinya dalam menjaga kehormatan sesama.
Mengapa Tajassus Berbahaya?
Dampak buruk dari kebiasaan mencari kesalahan orang lain bukan sekadar masalah etika, tetapi juga memiliki implikasi besar terhadap kesehatan moral individu dan stabilitas sosial. Beberapa alasan utama mengapa tajassus sangat berbahaya adalah:
- Menumbuhkan Kebencian dan Perpecahan : Setiap kali seseorang mencari-cari keburukan orang lain, ia sebenarnya tengah menanam benih kebencian dalam hatinya. Seiring waktu, kebencian ini berkembang menjadi fitnah, ghibah, dan konflik yang berkepanjangan.
- Menghilangkan Keberkahan dalam Hidup : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau mencari-cari keburukan orang, engkau telah merusak mereka atau engkau hampir merusak mereka.” (HR. Abu Dawud, no. 4888). Hadis ini menegaskan bahwa tajassus bukan hanya mencederai orang lain, tetapi juga menghancurkan keberkahan dalam kehidupan pelakunya sendiri. Bahkan mata orang yang berusaha melihat-lihat rumah orang lain boleh untuk dicongkel. Ini menunjukkan bahwa tajassus bukan perkara yang ringan, bahkan sangat besar dan berat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan memperbolehkan tindakan tegas terhadap pengintip: “Jika seseorang mengintipmu tanpa izin lalu engkau melemparnya dengan kerikil sehingga dia kehilangan matanya, engkau tidak berdosa.” (HR. Al-Bukhari, no. 6902; Muslim, no. 2158)
- Mengundang Kemurkaan Allah : Islam menekankan pentingnya menjaga kehormatan dan harga diri sesama Muslim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim). Sebaliknya, mereka yang gemar mengumbar aib orang lain akan ditelanjangi kehormatannya oleh Allah, bahkan mungkin melalui cara yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Baca Juga :
Kenapa Mujahir Tidak Bisa Masuk Surga ? Ini Kisah Musahabahnya
‘Evolusi’ Tajassus di Era Digital
Di era teknologi saat ini, tajassus mengalami evolusi yang lebih masif. Jika dahulu mencari-cari keburukan orang dilakukan secara fisik, kini hal tersebut semakin mudah dengan hadirnya media sosial, berita gosip, dan penyebaran informasi tanpa verifikasi. Budaya cyberstalking, doxxing, serta eksploitasi privasi telah menjadi kebiasaan baru yang mengancam nilai-nilai Islam dan etika sosial.
Media sosial menjadi ladang subur bagi orang-orang yang gemar mencari-cari kesalahan orang lain. Komentar negatif, penghakiman sepihak, serta penyebaran informasi pribadi tanpa izin kerap dilakukan dengan dalih kebebasan berekspresi. Padahal, kebebasan tanpa kendali moral justru melahirkan fitnah yang lebih besar.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya, tetapi belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan mencari-cari kesalahan mereka. Karena siapa yang mencari-cari kesalahan saudaranya, Allah akan mencari-cari kesalahannya. Dan jika Allah mencari-cari kesalahannya, Dia akan mempermalukannya di dalam rumahnya sendiri.” (HR. Abu Dawud, no. 4880)
Membangun Kesadaran untuk Menjauhi Tajassus
Sebagai Muslim yang ingin meraih ridha Allah, kita harus mengambil langkah konkret untuk membangun budaya saling menjaga kehormatan, bukan saling mengorek kesalahan. Beberapa cara yang bisa kita lakukan adalah:
- Fokus pada Perbaikan Diri : Jangan sibukkan diri dengan mencari aib orang lain, sementara diri sendiri masih dipenuhi kekurangan. Setiap manusia memiliki kesalahan, dan tugas utama kita adalah memperbaiki diri sebelum menghakimi orang lain.
- Menjaga Lisan dan Jari : Di era digital, menjaga lisan tidak hanya berarti menahan diri dari berbicara buruk, tetapi juga menghindari menyebarkan keburukan melalui media sosial. Jangan menjadi bagian dari rantai penyebaran fitnah dan tajassus yang merusak.
- Meneladani Akhlak Rasulullah : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pribadi yang paling menjaga kehormatan sesama. Bahkan ketika mengetahui keburukan seseorang, beliau menutupinya dan menasihati dengan cara yang bijaksana.
- Menjauhi Sumber-sumber Fitnah : Media yang berisi gosip, berita hoaks, atau konten yang mengundang tajassus harus dihindari. Jangan biarkan diri kita terjerumus dalam jebakan syahwat informasi yang tidak bermanfaat.
Wahai jiwa yang mencari ketenangan, ingatlah bahwa setiap aib yang kita tutupi hari ini akan menjadi tabungan kemuliaan di sisi Allah. Sebaliknya, setiap keburukan yang kita umbar akan menjadi beban di hari pembalasan. Mari kita bermuhasabah dan berkomitmen untuk menutup pintu tajassus dalam kehidupan kita.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing kita untuk selalu menjaga kehormatan diri dan sesama, serta menjauhkan kita dari sifat-sifat tercela yang hanya akan merugikan diri sendiri di dunia maupun akhirat. Aamiin.